CIREBON – Kejaksaan Negeri Kota Cirebon melakukan penyitaan terhadap aset tanah dan bangunan di Blok Siwodi salah satu perumahan di Jalan Pemuda Kota Cirebon.
Kepala Kejaksaan Negeri Kota Cirebon, Umaryadi melalui Kasi Intelijen Kejari Kota Cirebon Slamet Haryadi mengatakan, pihaknya sudah melakukan eksekusi terhadap tanah seluas 6.180 meter persegi.
“Hati ini kita sudah eksekusi tanah PD Pembangunan yang dikuasai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi FI, JH, dan OI,” katanya, Kamis (4/1/2024).
Dirinya melanjutkan, pihaknya sudah mengimbau kepada seluruh pemilik rumah untuk mengosongkan baik tanah maupun bangunan di Blok Siwodi tersebut.
“Di sana kita sita 7 rumah, termasuk rumah tersangka FI, dan 4 diantaranya sedang dikontrakan,” lanjutnya.
Menurutnya, para pengontrak rumah tersebut bersedia untuk mengosongkan rumahnya karena dalam proses hukum.
“Sampai sejauh ini sih mereka bersedia dan belum ada tuntutan ganti rugi, karena kan ini demi hukum,” tuturnya.
Slamet menjelaskan, untuk saat ini baru tanah dan bangunan saja yang disita oleh Kejaksaan Negeri Kota Cirebon.
“Untuk saat ini baru tanah dan bangunan saja, untuk harta-harta lainnya belum kita sita,” jelasnya.
Sebelumnya Kejaksaan Negeri Kota Cirebon sudah menahan setidaknya 3 tersangka dugaan kasus korupsi dan mafia tanah, yaitu FI, JH, dan OI.
Kasus berawal dari tahun 2004 mengajukan ketiga tersangka mengajukan permohonan sertifikat tanah kepada oknum BPN berinisial S.
“Namun proses sertifikat ini tidak sesuai dengan prosedur sebagaimana yang diatur dan ditentukan oleh PD Pembangunan,” paparnya.
Ia melanjutkan, dengan kerjasama dengan terpidana S tersebut, muncul 5 sertifikat tanah, 2 sertifikat dengan nama JC, dan 2 sertifikat atas nama FI, dan 1 sertifikat atas nama OI.
“Ketiga tersangka tersebut merupakan satu keluarga, bapak dan anak, dalam perjalanan kasusnya, tahun 2014, satu sertifikat sudah dijual kepada orang lain,” lanjutnya.
Slamet menjelaskan, 5 sertifikat ini seolah-olah sah secara hukum, namun pada putusan Mahkamah Agung ke 5 sertifikat tersebut dinyatakan tidak sah secara hukum.
Dalam kasus tersebut, 5 sertifikat tersebut seluas 6.180 m², dan negara dirugikan senilai Rp. 23,6 Miliar rupiah.*(Sakti)