CIREBON – Ada sejumlah kebijakan di SMA Negeri 7 Cirebon yang menuai sorotan, mulai dari dugaan adanya pemotongan dana Program Indonesia Pintar (PIP) hingga dana untuk Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).
Salah seorang siswa HA (inisial) mengatakan, dana PIP sendiri yang didapatkan sebesar Rp 1.800.000 namun dipotong oleh pihak sekolah Rp 250.000.
“PIP tersebut merupakan program yang diinisiasi oleh pemerintah,” katanya, Rabu (5/2/2025).
Dirinya melanjutkan, selain itu pada saat penyaluran dana PIP sendiri, siswa diminta oleh pihak sekolah untuk mengumpulkan kartu ATMnya beserta PIN.
“Setelah itu sisa dari uang tersebut sebesar Rp 1.550.000 dipakai untuk pelunasan yearbook bagi kelas 12 dan pelunasan uang SPP, tapi yang keduanya sudah lunas sampai saat ini belum dikembalikan uangnya PIP,” lanjutnya.
Ia menuturkan, selain uang PIP, pihak sekolah sendiri masih memungut iuran uang SPP sebesar Rp 200 ribu perbulan.
“Kalau tidak salah sekolah negeri itu sudah tidak boleh ada uang SPP lagi, dan itu setiap bulan ditagih uang SPP,” tuturnya.
Aturan yang pungutan termasuk uang SPP tersebut tertuang dalam Permendikbud No. 44 Tahun 2012, dalam aturan tersebut sekolah masih bisa melakukan pungutan akan tetapi bersifat sukarela.
“Tapi disekolah kita itu kalau yang SPP-nya belum lunas itu selalu ditagih dan parahnya dana PIP-nya ditahan,” jelasnya.
Ia menuturkan, pungutan lainnya juga terjadi di SMA Negeri 7 Cirebon, pungutan lain yang cukup besar adalah untuk uang gedung sebesar Rp 6,4 juta.
“Uang gedung angkatan saya itu Rp6,4 juta rata persiswa, angkatan saya itu kurang lebih ada 350 siswa,” tuturnya.
Sedangkan pasa aturan Permendikbud No. 44 Tahun 2012 menegaskan bahwa sumbangan pendidikan untuk pembangunan atau renovasi sarana harus dilakukan secara sukarela dan berdasarkan kesepakatan, terlebih sudah ada alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Sementara itu bagi siswa yang belum lunas uang gedungnya kartu dan buku PIP-nya ditahan oleh pihak sekolah,” jelasnya.
Siswi lainnya, KC mengatakan, siswa maupun siswi juga diwajibkan membeli Lembar Kerja Siswa (LKS) di sekolah yang notabenya harganya jauh lebih mahal.
“Jadi kita kalau beli di online itu tidak boleh padahal dengan buku yang sama, kalau kita beli di online lebih murah hanya Rp8 ribu kalau di sekolah itu Rp 20 ribu,” katanya.
Ia mengungkapkan, jika ada siswa yang membeli buku diluar sekolah akan langsung dipanggil dan juga dimarahi oleh pihak sekolah.
“Kita diberikan kata-kata yang tidak pantas dilontarkan seorang guru terhadap muridnya,” tutupnya.
Sementara itu, Bidang Kesiswaan Rachmasari mengatakan, untuk PIP sendiri sebenarnya dari partai politik.
“Dari partai politik itu sebenarnya ada pengajuan ke pihak sekolah ingin membantu, dan kami mengajukan kerjasama, kalau tidak ada kegiatan di sekolah pun kami tidak mengambil,” jelasnya.
Untuk PIP dari partai itu ada sekitar 500 siswa yang dapat PIP dari partai politik, mulai dari kelas 11 dan kelas 12.
“Uang PIP itu kita ada untuk studytour, untuk kelas 12-nya ada kegiatan yearsbook dan graduation, semuanya itu digunakan,” tuturnya.***(Sakti)