REMBANG – Warga Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Lembang, Provinsi Jawa Tengah, berkolaborasi dengan petani garam membuat lukisan raksasa di atas tambak.
Pertunjukan bertajuk “Bancaan Rupa” itu menghasilkan lukisan berukuran 21 x 33 meter yang menggunakan garam sebagai bahan lukis.
“Lukisan berukuran 21 x 33 meter ini tentunya akan menjadi lukisan garam pertama dan terbesar di dunia yang dilukis di atas kolam,” kata Kepala Desa Dasun Sujarwo dilansir dari ANTARA, Sabtu (18/11/2023).
Ia mengakui sejak awal mendengar rencana Eggy Yunaedi seorang perupa asli Rembang yang ingin membuat sebuah lukisan garam raksasa di tambak gede Desa Dasun yang kebetulan juga bengkok kepala desa, pihaknya sangat antusias dan menyambut dengan suka cita.
Terlebih, kata dia, seniman tersebut memberikan gagasan bahwa karya tersebut nantinya merupakan karya bersama, sebuah kolaborasi antara perupa dan pemulia garam Desa Dasun dengan semangat relawan.
“Kami masyarakat Desa Dasun selama hidup tidak pernah lepas dengan tambak maupun garam. Tiga perempat wilayah Desa Dasun adalah tambak sehingga menjadi urat nadi kehidupan masyarakat. Sekarang ini pada musim kemarau Tambak Dasun digunakan untuk membuat garam, sedangkan musim hujan digunakan untuk budidaya ikan bandeng,” ujarnya.
Menurut dia, tradisi “bancaan dan ambengan” sudah menjadi ritus yang mendarah daging bagi masyarakat pesisir Desa Dasun dalam melalui segala macam siklus kehidupan. Sehingga, kegiatan seni “Bancaan Rupa” yang berlangsung mulai 16-18 November 2023 di Tambak Gede, Desa Dasun, merupakan pilihan yang tepat tidak mengada-ada.
“Besar harapan, kami mampu mencerna makna dan maksud yang tergambar dalam lukisan garam raksasa karya bersama Mas Eggy Yunaedi dengan pemulia garam ini. Setiap hari di kehidupan kita secara tak sadar selalu berinteraksi dengan garam,” ujarnya.
Ia berharap momen bisa memberi makna lebih atas keberadaan garam dan tambak. Tidak hanya sekedar menarasikan dalam sebuah buku, tetapi juga menjiwai di setiap proses pembuatan sampai bisa menjadi laku kebajikan dan kebijakan.
“Garam butuh tambak, garam butuh sinar matahari, garam butuh angin, tambak butuh air, air butuh sungai, dan sungai butuh bersih. Maka dari sebutir garam yang berkualitas, dibutuhkan bumi yang lestari,” ujarnya.
Sementara itu, Eggy Yunaedi, seniman dan pegiat kebudayaan mengungkapkan pembuatan lukisan garam berukuran raksasa tersebut memakan waktu tiga hari, yang dikerjakan oleh sepuluh orang petani garam Desa Dasun bersama dirinya dibantu oleh dua orang asisten, yakni Sofyan Kancil dan Imam Bocah.
Pembuatan lukisannya dilakukan dengan cara menaburkan garam di atas lahan tambak, membuat garis dan bidang yang membentuk lukisan monokrom di atas tiga petak tambak.
Taburan putihnya butiran garam di atas warna tanah tambak tersebut akan memunculkan figur petani garam yang dikelilingi ornamen-ornamen yang menggambarkan bumi, matahari, air dan angin serta gunungan, naga dan burung hong serta ornamen Islami.
Simbol empat elemen alam dan tiga elemen budaya itu juga diwujudkan dalam tujuh kerucut garam melambangkan doa dan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas alam dan budaya yang memberi penghidupan kepada petani garam maupun masyarakat Dasun.
Eggy merupakan perupa kelahiran Rembang yang belakangan aktif membuat karya berskala besar di ruang terbuka, di antaranya, instalasi “Melangitkan Doa” yang ikut memeriahkan Harlah 1 Abad Nadlatul Ulama di Sidoarjo beberapa waktu yang lalu.
Karya tersebut dicatat oleh Museum Rekor MURI sebagai display doa terbanyak dan terbesar di dunia. Eggy juga sempat melakukan karya kolaboratif berskala besar dengan komunitas Sedulur Sikep dalam membuat instalasi “Suluh Samin” dengan menggunakan 2000 obor.*