CIREBON– Dinas Pengendalian Penduduk, KB dan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Cirebon mencatat 88 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga 14 November 2023.
Kepala DPPKBP3A Kabupaten Cirebon, Enny Suhaeni mengungkapkan, berdasarkan data yang telah masuk ke P2TP2A dan telah diteruskan ke aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) terdapat 88 kasus.
“Data yang masuk dan sudah diteruskan ke aplikasi SIMPONI PPA sampai dengan bulan november ada 88 kasus, dari 88 kasus itu campur ya ada kekerasan fisik, kekerasan seksual, perundungan,” kata Enny, saat ditemui di DPPKBP3A Kabupaten Cirebon, Rabu (15/11/2023).
Jumlah kasus tersebut, kata Enny, menurun dibandingkan tahun lalu yakni 103 kasus, baik anak-anak maupun orang dewasa.
“Dibandingkan dengan tahun lalu di 2022 itu ada yang masuk ke kami datanya adalah 103 kasus. Yang sekarang ini 88,” ucapnya.
Apabila sampai Desember, maka masih ada rentang waktu selama satu bulan lebih.
“Mudah-mudahan hingga Desember mendatang tidak bertambah klo tidak nambah kan turun dari tahun sebelumnya,” ujar Enny.
Hanya saja, lanjut Enny, dengan turunnya jumlah kasus tidak patut bagi siapapun untuk berjumawa. Sebab, sangat memungkinkan masih banyak masyarakat yang enggan melapor.
“Hanya kan, kita jangan berbangga hati kasus turun, karena kita kan tidak tahu kasus di masyarakat apakah itu betul-betul turun atau masih enggan takut melapor,” ucapnya.
Adapun latar belakang dari seluruh kasus yang tercatat di DPPKBP3A Kabupaten Cirebon cukup beragam tergantung pelaku.
“Tergantung ya, kan pelaku ada anak dan orang dewasa juga,” ucapnya.
Untuk kekerasan fisik yang terjadi di kalangan anak-anak umumnya ditengarai oleh saling ejek yang kemudian berujung perundungan, kekerasan fisik maupun seksual.
“Seperti kasus perundungan baru-baru ini ya, itu kan memang laporannya belum masuk ke kita. Tapi kita sudah ketemu sama korban dan peroleh sejumlah informasi,” jelas Enny.
Enny menjelaskan, penyebab lain kekerasan fisik diantara anak-anak di bawah umur adalah pola asuh orang tua atau wali serta pengaruh gadget.
Kemudian pelaku orang dewasa latar belakang melakukan kekerasan fisik dan seksual umumnya dikarenakan pengaruh gadget, pernah menjadi korban, memiliki kelainan psikolog, dan kesempatan.
“Hakikatnya secara gamblang dan kasarnya intinya tidak bermoral ya pelaku orang dewasa ini karena kan, mereka itu biasanya melakukan hal tersebut ke anaknya, saudara, kerabat yang notabennya korban itu masih keluarga sendiri,” paparnya.
Terakhir, pengaruh terbesar lainnya yakni lingkungan para pelaku kekerasan.
“Seberapa besar karakter seorang anak maupun orang dewasa terbentuk itu bergantung pada lingkungan mereka dibesarkan,” jelasnya.
Pihaknya berharap, setiap orang dapat melek dan peka terhadap kasus kekerasan yang terjadi terhadap orang di sekitarnya.
“Saya harap orang-orang sadar dan mau melaporkan kejadian-kejadian tak menyenangkan di sekitarnya. Kita juga yang ada di lini lapangan itu baik itu motekar maupun TPD PLKB selalu menyampaikan kalau melihat mendengar bahkan mendapatkan kekerasan dirinya sendiri jangan takut untuk melapor,” paparnya.
Berdasarkan survey 1 dari 4 perempuan di Indonesia itu mengalami kekerasan.
“Kalau kita bandingkan dengan hasil survey, bahwa dari 4 perempuan pasti 1 perempuan mendapat kekerasan.
Kalau anak, dari 100 anak pasti 15 anak diantaranya mendapatkan kekerasan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Enny meminta agar setiap orang sadar dan peka terhadap kejadian kekerasan yang terjadi di sekitarnya, demi mencegah serta mengantisipasi korban lebih banyak.*(Sarrah)